Pulang Kampung
Kali ini aku pulang
kampung. Bagiku, pulang kampung
mengandung dua konsekuensi psikis-psikologis yang kontradiktif. Satu sisi,
pulang kampung menyenangkan karena akan bertemu sanak famili, teman-teman “masa
lalu”, dan pastinya kenangan-kenangan yang pernah tercecer. Sisi lain, perjalanan
untuk pulang kampung (Jogja-Bondowoso) butuh kesiapan energi ekstra, apalagi
mengendarai bus. Juga butuh kesiapan finansial. Yang terakhir agaknya selalu
“memberatkan” mahasiswa rantau yang kere semacam aku.
Siapa yang tidak
bahagia jika bertemu keluarga? Hanya orang-orang berkelainan jiwa (atau punya
masalah dengan kampung halaman dan keluarga) yang tidak bahagia. Aku sendiri
bahagia bukan kepalang bertemu keluarga. Juga teman-teman yang telah dan akan
selalu mewarnai kehidupanku. Setelah berpisah cukup lama, orang-orang kampung
halaman sangat dirindukan. Padahal, dulu, saat bersama-sama nimbruk di emperan rumah, ngobrol ngalor-ngidul di brok di pinggir jalan, perasaan rindu-merindukan hanyalah
angan-angan. Tidak ada cita-cita untuk rindu-merindukan. Namun setelah berpisah
sekian lama (meskipun tidak lama-lama amet
sih), perasaan rindu-merindukan menghampiri dan butuh untuk direalisasikan.
Memang betul, persoalan rindu-merindukan adalah khas manusia. Bukan makhluk
lain semisal binatang dan tumbuhan. Hanya dan hanya manusia mengalami rindu.
Rindu mensyaratkan
relasi intersubjektifitas yang mengalami keterpisahan. Rindu adalah ruang dan
waktu yang membentang di antara dua atau lebih subjek sehingga membuat
terpisah. Keterpisahan dapat berupa distansi spasial dan temporal. Dalam
keadaan terpisah, manusia merindu. Tidak hanya dalam tataran horizontal
(manusia dengan manusia atau ciptaan lain), tetapi juga pada tataran vertikal
(manusia dengan Tuhannya).
Melepas rindu berarti mengatasi distansi spasial dan temporal. Relasi intersubjektifitas yang dulunya berpisah, kini melebur menjadi satu-kesatuan. Pada kondisi seperti ini, tidak ada yang namanya rindu. Karena rindu telah dilepas. Yang ada hanyalah membongkar tumpukan kenangan. Percakapan tentang yang “dulu-dulu” mendominasi. Narasi-narasi sumbang masa lalu menjadi bahan tertawaan. Perasaan bercampur aduk. Ada senang, bahagia, sesal, sedih, dan ada juga malu.
Comments
Post a Comment