Kopi: Sebuah Interpretasi Kehidupan
Terminologi ‘kopi’ bukanlah kata asing (slang vocab) di telinga kita. Sehari-hari kita mendengarnya: “Bu, buatkan aku kopi”, kata ayah, kita melihatnya: Ibu membuat kopi, dan bahkan tanpa sengaja kita membacanya: warung kopi. Kopi begitu akrab dengan semua orang: ibu rumah tangga, petani, akademisi, penyair, hingga presiden. Dapat dijumpai di mana saja: di belahan bumi utara hingga selatan. ‘Kopi bukanlah kata asing’.
Secara
fungsional, kopi bukan sekedar minuman. Ia dapat menambah ketahanan tubuh,
membuat orang yang tadinya terkantuk-kantuk menjadi melek (bugar) kembali. Sebagian orang meminumnya di pagi hari untuk
tambahan energi sepajang hari. Sebagian lagi meminumnya di malam hari untuk
keperluan begadang. Ada pula yang berniat minum kopi untuk ketahanan dalam
beribadah, untuk bekerja lembur, untuk mengerjakan tugas bagi mahasiswa. Secara
umum, kopi adalah penghilang rasa kantuk. Lagi,
‘kopi bukanlah kata asing’.
Dalam
ranah eknomi, kopi merupakan komoditas menjanjikan. Bernilai ekspor tinggi
sehingga memberikan pemasukan (income)
cukup besar terhadap suatu negara. Termasuk Indonesia. Bagi petani –lebih
tepatnya pekebun– kopi, tanaman ini menggiurkan. Tidak ruwet merawatnya dan bertahan lama sampai bertahun-tahun lamanya. Selain
itu, lahan kopi dapat digunakan untuk menanam tanaman lain, seperti padi,
cabai, ataupun jagung, dengan memanfaatkan celah-celah (jarak) antara pohon
kopi satu dengan pohon lain. Sekali lagi,
‘kopi bukanlah kata asing’.
Kopi ‘Bukanlah’ Kopi
Sesuatu
yang (ter)biasa –untuk tidak mengatakan yang remeh-temeh– terkadang dipandang
biasa juga. Begitu pula dengan kopi. Keberadaan kopi, seperti apa yang telah
saya paparkan, bukanlah kata asing: akrab dengan semua orang, berfungsi, dan
bernilai ekonomi tinggi. Demikian apa yang saya tangkap dari kebanyakan orang.
Namun
dibalik ‘biasa’-nya kopi, terkandung nilai-nilai filosofis di dalamnya,
terutama kaitannya dengan makna kehidupan. Dalam ranah ini, kopi bukan sekedar
benda material atau benda mati. Kopi dipandang sebagai representasi dari
realitas kehidupan dunia.
Warna
hitam pekat menggambarkan akan kehidupan yang penuh misteri. Kita hidup, tak
satupun tahu apa yang terjadi beberapa detik ke depan, besok hari, dan bahkan
kita saat ini ada dalam kamus ketidaktahuan kita. Meskipun terkadang kita
melakukan perencanan yang matang, dan recana itu masih juga penuh misteri:
apakah berhasil, tergelincir atau berakhir di tempat sampah. Manusia hanya bisa
berencana, realitas kehidupan tetap mengikuti ‘keinginan’ Tuhan, yang lagi-lagi
penuh misteri.
Rasa
pahit dan manis mendekripsikan realitas kehidupan. Bahwa hidup tidak senantiasa
bahagia dan senang. Ada kala kita tertimpa masalah, dilanda musibah yang
membuat kita murung, sedih, terluka, dan berduka. Begitulah hidup.
Dibalik
pahit dan manis ‘kopi’ kehidupan, terdapat suatu sintesis berupa keharmonisan
mono-dualisme: dua hal berbeda (bertentangan) dalam satu kesatuan. Dan
keharmonisan itu dinikmati oleh orang. Karena rasa pahit dan manis yang
harmonis, membuat orang kecanduan.
Realitas
kehidupan, yang terkadang pahit dan terkadang manis, seharusnya ‘dinikmati’.
Dalam konteks ‘menikmati’ hidup, pelbagai cara telah dilakukan oleh berbagai
orang atau kaum untuk mencapai keharmonisan (kebahagiaan). Katakanlah Sokrates,
filsuf Yunani. Ia mengatakan tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah eudaimonia.
Eudaimonia diterjemahkan
‘mempunyai daimon (jiwa) yang baik’
atau kebahagiaan objektif (objective
happiness). Daimon yang baik
dapat dicapai dengan aretê. Yakni,
keutamaan atau kebajikan moral dan intelektual (pengetahuan). Melakukan aretê inilah yang saya sebut ‘menikmati’
pahit-manisnya dinamika kehidupan dunia.
Kopi Kita Semua
Fenomena
ngopi (baca: minum kopi) tidak hanya
dapat dilakukan oleh segelintir orang. Meskipun dalam perkembangannya, kopi,
secara kultural, mempunyai hubungan yang romantis dengan kalangan kerajaan. Itu
dahulu. Saat ini, siapa saja dapat menyeruput kopi. Mulai dari kalangan kelas
bawah, menengah, hingga kelas elite
sekalipun.
Lebih jauh lagi, di beberapa
masyarakat, menjadikan kopi sebagai bagian dari budaya masyarakat. Misalnya di Madura.
Kopi tidak hanya hadir pada acara, tradisi, atau upacara tertentu. Kopi hadir
setiap harinya sebagai perekat jalinan persaudaraan. Biasanya, saat mengunjungi
(silaturrahmi) rumah saudara atau tetangga, kopi menjadi hidangan wajib sebagai
‘teman’ ngobrol ngalur ngidul.
Dilihat dari objeknya: kopi itu sendiri,
mengandung unsur-unsur kemajemukan. Semisal dari segi bentuk. Ada kopi yang
berbentuk setengah bundar dengan belahan di tengahnya, ada pula yang bundar
total, ada pula yang berbentuk lonjong. Dari jenis kopi, tiap daerah mempunyai
kopi varietas unggul. Di Eropa terkenal dengan Robusta-nya, sedangkan dunia
Asia terkenal dengan Arabica-nya. Bahkan akhir-akhir ini, ada Kopi Luwak yang
kenikmatannya tiada tara.
Dengan
demikian, kehadiran kopi di tengah masyarakat merupakan interaksi alam. Kopi,
dalam dirinya, mengandung filosofi kehidupan penuh makna. Begitu pula dengan
manusia dengan naluri hati nuraninya untuk selalu berbuat sesuai hukum alam. Keduanya
selaras membentuk pola interaksi filosofis dalam kehidupan dunia.
Comments
Post a Comment