Jogja dan Kedai Kopi


Pertama kali datang ke Jogja, begitulah orang menyebut Yogyakarta, saya merasakan nuansa baru yang berbeda dengan atmosfer daerah asal. Selain nuansa pendidikan atau kebudayaan yang merupakan identitas keistimewaan Jogja yang secara eksplisit menjadi pembeda dengan daerah lain. Adalah tradisi ngopi yang menarik perhatian saya. 

Menjamurnya tempat ngopi (baca: kedai kopi) menjadi salah satu bukti kentalnya budaya ngopi. Saya pernah ngopi di Mato Kopi, Kebun Laras, Kedai Nusantara, dan Secangkir Jawa. Masing-masing kedai-kedai kopi menyajikan berbagai varian rasa kopi dengan variasi harga pula, dari harga “rakyat” sampai harga “pejabat”. Misalnya, di Mato Kopi, ada Kopasus kotok, kopi favorit saya (kopi pakai susu dengan takaran kopi lebih banyak dan dibuat melalui proses kotok, yakni mencampurkan komposisi saat air dalam keadaan mendidih, seperti memasak mie instan).  

Selain rasa kopi yang, menurut saya, Jogja banget,  setting tempat dan suasana mengandung unsur romantisme Jogja. Karena membuat saya, dan orang-orang, betah berlama-lama –biasanya semalam suntuk– untuk sekedar menyeruput kopi. Dan setiap saya meninggalkan kedai, ada perasaan rindu untuk kembali saat waktu luang. Rutinitas saya ngopi adalah mingguan, terutama ketika weekend. 

Biasanya pemilihan tempat bersifat kealaman. Artinya jauh dari hiruk pikuk keramaian tarnsportasi. Ada yang di dekat sawah, dekat sungai atau waduk, dan ada pula yang di daerah pegunungan. Setting tempat dan suasana diatur sedemikian rupa. Kebanyakan kedai kopi menggunakan aspek penerangan untuk menciptakan suasa yang mengesankan. Seperti lampu tidak dibuat terlalu terang dan tidak terlalu gelap: remang-remang cahaya bulan purnama. Dan terkadang di-setting tempoe doeloe. Pemilihan tempat dan penerapan setting sedemikian rupa membuat pengunjung sekaligus penikmat kopi tidak mengenal kata bosan sehingga menimbulkan kerinduan untuk ngopi.    

Setelah tiga bulan tinggal di Jogja, saya menangkap kedai kopi tidak sekedar tempat  ngopi yang bisu tanpa makna, tidak pula sekedar tempat nongkrong. Kedai kopi telah menjelma menjadi ruang publik. Di mana, individu manapun bebas bersuara, berpendapat, dan beragumentasi tanpa pengekangan. Di sini, kedai kopi berfungsi sebagai ruang diskusi, tempat pelbagai bidang keilmuan dipertemukan, terutama disokong oleh keberadaan kaum terpelajar (baca: mahasiswa) yang mayoritas. Terkadang, ide-ide segar muncul di tempat ini. 

Fenomena kedai kopi sebagai ruang diskusi memberikan corak berbeda daripada ruang diskusi lainnya. Ruang diskusi tidak lagi jauh atau menjauh dari rakyat, karena kopi adalah simbol rakyat. Semua orang dapat mengkonsumsi kopi. Selain dapat dikunjungi oleh semua kalangan, bahasa yang digunakan terasa lebih “merakyat”, yakni menggunakan bahasa sehari-hari serta yang tak kalah pentingnya, ditemani secangkir kopi. Di kedai kopi, diskusi tidak lagi membosankan. 

Kedai kopi merupakan simbol heterogenitas. Orang yang menyambanginya tidak sebatas berbeda usia: tua-muda, melainkan bermacam karakter orang ada. Mulai dari yang berwatak pesisir hingga pegunungan, dari watak kota sampai desa. Mereka berkumpul memperbincangkan sesuatu  yang “tak jelas”. Dalam pengertian tak ada batasan topik pembicaran. Ada yang memperbincangkan isu-isu terkini tentang pelantikan presiden, tentang Taman Kanak-kanak (TK) di Gedung Parlemen.  Ada pula yang sekedar curhat-curhatan: bercerita tentang bahagianya punya gebetan baru hingga yang melankolis sekalipun, diputusin pacar. 

Demikian saya menangkap keberadaan kedai kopi di Jogja dan dinamika di dalamnya. Kedai kopi yang tidak sekedar susunan kayu-kayu dan batu-bata yang dihiasi ornamen tertentu. Di Jogja, kedai kopi terasa “bernyawa”. Bagi saya, kedai kopi di Jogja begitu istimewa: istimewa kotanya dan istimewa kopinya.

Comments