Etika Berpendapat


Salah satu wujud reformasi adalah kebebasan berpendapat. Pengekangan terhadapnya bagaikan membunuh reformasi dan mendorong lahirnya wajah baru rezim Orde baru di zaman yang baru. Penganiayan terhadap orang yang berkoar-koar mengkritik pemerintah, misalnya wartawa, hampir sudah tidak terdengar lagi. Kebebasan berpendapat sepenuhnya adalah milik rakyat, hak individual. Kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum dijamin dan dilindungi oleh undang-undang yaitu UUD 1945 Pasal 28, UU No. 9 Tahun 1998 dan UU No. 12 Tahun 2005 dll.

Dibalik bebasnya berpendapat di muka umum, terdapat suatu permasalahan  yaitu kebebasan berpendapat rem blong. Kebebasan yang ditampilkan sebagai sebebas-bebasnya bebas tanpa kontrol etika. Seperti kasus Florence Sihombing yang menjadi trending topik nasional bahkan internasional saat ini karena postingannya menyulut kemarahan masyarakat Yogyakarta dan berujung pada bui. 

Diceritakan bahwa mahasiswi pasca sarjana Fakultas Hukum UGM ini terancam dipenjara setelah pesannya di akun Path menuai protes karena dia menyebut Yogyakarta miskin, bodoh, dan tak berpendidikan (Liputan6.com, 03 September 2014). Kekesalannya sehingga menulis status seperti itu dilatarbelakangi oleh pelayanan SPBU di Yogyakarta yang tidak memuaskan. Pasal pencemaran nama baik pun dilayangkan ke dia. Kebebasan berpendapat ditafsiri kebebasan yang sebebas-bebasnya.    

Etika Sosial

Etika disini dimaknai sebagai moralitas yaitu: karakter, tata perilaku, sopan santun dan adat istiadat ketimuran, terutama etika orang Indonesia. Franz Magniz-Suseno memaknai moral sebagai acuan atas baik-buruknya manusia sebagai manusia yang dilihat dari segi kebaikannya dalam kehidupan. Kekentalan etika orang Indonesia begitu khas sekali, sehingga setiap sesuatu, terutama budaya barat, selalu dipandang dengan tinjauan etika, baik atau buruk. Dalam kebebasan berpendapat pun berlaku norma etika keindonesiaan. Kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan individu yang lain. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kasus Florence Sihombing adalah pengekangan kebebasan berpendapat. Namun, ditinjau dari segi etika, dengan dalih kebebasan berpendapat, statusnya di akun Path telah merampas kebebasan orang lain untuk nyaman dengan kondisi lingkungan, lebih khususnya pencemaran nama baik. Sehingga, kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan yang jika diekspresikan tidak menimbulkan benturan dengan kebebasan orang lain, dengan kata lain tidak merugikan orang lain.

Dalam falsafah hidup masyarakat Jawa, etika sosial adalah syarat hidup harmoni dan nyaman dalam masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah etika pitutur (berbicara atau berpendapat) diatur sedemikian rupa sehingga out put kata-kata mengandung nilai-nilai kesopanan dan kesantunan untuk tidak merugikan atau mengejek orang lain. Seperti etika sosial yang diajarkan Ki Pariwara kepada Ki Jati Pitutur, dikenal dengan nama Pepali Ki Ageng Sela yaitu berisi larangan dan anjuran yaitu sebaiknya manusia hidup (1) dapat membuat orang lain senang, (2) hendaknya berhati-hati dalam ucapan, pandangan, dan hati (3) hendaknya manusia memiliki rasa “malu” kepada Tuhan dan manusia, serta (4) hendaknya membangun persahabatan yang baik (Suwardi Endraswara, 2010:139). Etika-etika sosial semacam itu hampir diterapkan secara menyeluruh di Indonesia sesuai dengan local wisdom suku dan ras masing-masing. Hal itu lebih dikenal sebagai norma sosial yang konsekuensinya berupa sanksi sosial.

Etika Pers     

Etika sosial berupa norma adat istiadat dan norma moral masyarakat yang mengatur kebebasan berpendapat belumlah baku, namun secara eksplisit etika berpendapat disampaikan melalui etika pers. Karena kebebasan pers adalah kebebasan berpendapat dalam arti sempit. Etika pers yang dimaksud adalah tanggung jawab moral pers, yaitu etos kebenaran informasi-informasi yang disajikan. Tanggung jawab terhadap kebenaran adalah dasar etika pers yang sangat fundamental. Kebenaran berarti memberitakan keadaan yang sebenar-benarnya terjadi. Namun dalam kondisi dan situasi tertentu terdapat gesekan antara etos kebenaran dan etika pers yang berimplikasi terhadap tidak tereksposnya berita tersebut. Hal ini mengacu pada hak pers untuk memberitkan sesuatu menemukan batasnya pada hak pihak lain untuk tidak diberitakan, termasuk terutama hak seseorang atau keluarga atas privacy mereka (Franz Magnis-Suseno, 1986:131). Dengan demikian, tidak dibenarkan atas nama kebebasan kita bebas dan seenaknya berpendapat, meskipun itu faktual, tanpa kontrol etika. Jika tidak, sanksi sosial akan diterima. Di sini masyarakat mempunyai peran sentral dalam menjatuhkan sanksi sosial terhadap seseorang mengingat norma-norma, baik tutur kata atau sikap, yang berlaku di Indonesia baik.  


Comments