Antara Idealisme dan Pragmatisme

Saya pribadi tidak setuju dengan sistem ekonomi kapitalisme. Selain melahirkan kelas-kelas sosial, kaum proletar dan kaum borjuis, dan menambah kesenjangan sosial, kapitalisme juga tidak manusiawi. Dalam kapitalisme, manusia bukanlah manusia seutuhnya. Kemanusiaan hanya ada pada tataran kaum borjuis. Sementara pada kaum proletar, kemanusiaan direduksi sedemikian rupa dengan kerja-uang-kerja-uang. Manusia dengan sifat kemanusiaannya tidak lain adalah sama dengan uang –alat pembayaran untuk mendapatkan “segalanya”.

Meskipun tidak setuju, toh, kapitalisme di Indonesia menjamur. Ditandai dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan seperti mall, supermarket dan minimarket, serta toko-toko yang dulunya ‘mentradisional’ kini bermetamorfosis menjadi aset-aset kecil kapital. Demikian pula dengan sistem perbankan yang sangat kapitalis. Dalam kondisi lingkungan yang demikian, kapitalisme adalah sebuah keniscayaan. Mau tidak mau kita (khusunya saya) ikut-“menikmati” sistem karena (masih) ketidakberdayaan diri.

Demikian yang saya lakukan kemarin (23/5). Berkunjung sekaligus berbelanja ke Mirota Kampus di depan Kampus UGM, minimarket yang kini ‘berproses’ menjadi supermarket, adalah tekanan batin pada satu sisi dan dorongan hasrat pragmatis pada sisi lain. Idealisme saya atas ketidaksetujuan terhadap kapitalisme dikalahkan oleh pragmatisme yang masih bercokol dalam diri (kemungkinan bercokol pada hampir semua manusia modern).

Sifat pragmatis saya (dalam berbelanja kebutuhan pokok anak kos) selaras dengan tawaran-tawaran yang diberikan oleh Swalayan semacam Mirota Kampus: praktis. Berbelanja, saat ini, (katanya) harus praktis. Dalam hitungan dua-tiga menit, kita sudah menemukan barang yang kita inginkan. Higenis. Juga kecepatan adalah keunggulan kapitalisme yang digunakan mode of marketing hari ini. Bahkan, menjamurnya toko online semakin memanjakan manusia modern. Bayangkan dengan hanya berdiam diri di rumah kita dapat membeli barang-barang yang kita inginkan dengan satu kali klik di toko online di internet. Barang datang dengan sendirnya. Tentu saja tidak dengan sendirinya seperti dalam adegan-adegan sulap. Ada yang mengantar (melayani) maksudnya.


Sampai saat ini, dalam diri saya, idealisme masih beradu dengan pragmatisme.

Comments