Malam


Sabtu malam (04/04), aku bersama rekan-rekan alumni pesantren menemani beberapa ‘santri aktif’ (untuk meyebut santri yang masih studi dan tinggal di pondok) sekaligus ‘adik angkatan’ yang sedang berkunjung ke Jogja. Di kalangan alumni yang menemani, selain ada aku, ada Hafidz, kakak angkatan waktu SMA dahulu dan sekarang sedang kuliah di UII di Jurusan Teknik Sipil. Dia mbonceng denganku meskipun mempunyai sepeda sendiri. Katanya sih dia nggak bisa mengendarai sendiri, apalagi mboncengin orang, karena sakit pinggang akibat jatuh dari sepadanya beberapa hari yang lalu.

Selain Hafidz, ada Faiz. Dia juga kakak angkatan sekaligus seniorku dulu di organisasi pers siswa. Sekarang dia kuliah di UII. Satu almamater dengan Hafidz, namun beda jurusan. Jika Hafidz di Teknik Sipil, dia di Ilmu Ekonomi. Rekan alumni terakhir yang menemani adalah Maulidi. Dia kakak angkatanku juga sekaligus senior di organisasi pers siswa serta satu asrama sewaktu nyantri di pesantren. Kompleks. Bayangkan, aku dua tahun hidup dengannya, sekarang ditambah satu daerah teritorial dalam melanjutkan studi: Jogja. Yah, untungnya beda kampus. Dia di UII, aku di UGM. Dia Jurusan Ilmu Hukum, aku di Jurusan Ilmu Filsafat. Universitas Gadjah Mada. Keren bukan? Hehehe. Sudah pasti aku tau tindak-tanduk-dan-tunduknya. Mulai dari bangun tidur, berangkat ngaji, berangkat sekolah sekaligus pulangnya, kegiatan asrama, hingga tidur lagi. Bahkan pose dia tidur aku tahu. Bayangkan dua tahun. Gag lama-lama amat sih.

Tetapi tinggal di pondok tidak sama tinggal di luaran. “Satu bulan saja kau tinggal di pondok, maka ingatan akan membekas sampai akhir hayat,” demikianlah kata temen pondokku yang ‘hanya’ bertahan tiga bulan di pondok, namun sampai saat ini ‘hubungan kita’ tetap terjaga. Cie... Cie...
Total ada empat orang alumni yang menemani. Termasuk aku. Sementara mereka (‘santri aktif’) berempat juga. Imbang. Mbonceng dua. Tujuan mereka ke Jogja adalah untuk menunaikan tugas mulia seorang ‘benih-benih’ insan pers Indonesia: Reportase. Ya, mereka adalah  juniorku, juniornya Faiz, juga Juniornya Maulidi, di organisasi pers siswa SMA. Nama organisasinya adalah Lembaga Pers Siswa Media Informasi Siswa Intelektual. Sedangkan Hafidz ‘bukan’. Dia hanya menunaikan kewajiban sebagai alumni, yaitu menemani tamu-tamu yang satu almamater yang berkunjung ke Jogja.

Kali ini, mereka (‘santri aktif’) ingin wawancara dengan dosen psikologi UII dan dosen filsafat UGM. Itu tujuan utama. Namun di sela-sela tugas utama mereka, ada juga tujuan lain yang terselubung: plesir. Biasanya berkunjung ke tempat wisata seraya me-refresh pikiran. Begitu pula denganku dulu sewaktu aktif di lembaga pers siswa. Hehehe.

Kegiatan plesir atau refreshing biasanya dilakukan sebelum dan sesudah reportase. Sebelum reportase dimaksudkan untuk menciptakan keadaan yang adabtif. Meskipun tanpa adabtasi semacam ini, toh mereka udah betah. Termasuk aku juga dulu. Karena ‘keluar’ dari pesantren secara ‘legal-formal’ adalah sesuatu yang didamba-dambakan santri. Tak terkecuali. Bahkan beberapa santri rela ‘sakit’ (atau ‘menyakiti’ diri) demi ingin pulang ke rumah. Dibalik itu semua ada modus tersembunyi: bebas dari peraturan dan padatnya kegiatan di pesantren. Sehingga, alasan adabtasi hanyalah bentuk penjustifikasian atas apa yang dilakukan. “Hitung-hitung biar keren dan argumentatif dan tidak terkesan mencla-mencle,” sergahku dalam batin seraya mengingat kenangan reportaseku dulu yang juga sempat ke Jogja.

Malam ini, kami berempat mengajak mereka yang juga berempat ke Nol Kilo Meter (0 KM) dan Tugu Jogja. Melalui 0 KM dan Tugu Jogja, kami ingin memperkenalkan kepada mereka ini loh (ikon) Jogja yang istemewa?

Sebelum berangkat ke dua tempat tersebut, nyali kita (kami dan mereka) diciutkan oleh gerimis yang secara perlahan-lahan turun ke bumi. Membasahi dan menyelimuti kota Yogyakarta yang seharian ‘diguyur’ oleh teriknya matahari dan asap kendaraan bermotor yang juga memperpanas cuaca. Gerimis membuat kaki kita maju-mundur. Antara iya atau tidak. Perselisihan pendapatpun terjadi di antara kami para alumni. Ada yang berpandangan untuk menunda beberapa menit lagi. 15 menit tepatnya. Termasuk aku mengiyakan itu. “Tunggu aja lima belas menit, kalau tetap gerimis, kita berangkat,” kataku pada teman-teman.

“Tidak usah menunggu. Ini sudah tengah malam. Gag bakalan turun hujan. Paling banter gerimis. Lagian juga kita manusia, bukan garam. Gag kira cair,” kata Maulidi menanggapi pendapatku dengan eksprisi sinis namun tetap humoris.

“Yaudah kita berangkat aja. Jika hujan, kita berteduh aja. Gitu aja kok repot!,” Hafidz mencoba memperkuat argumentasi Maulidi yang juga diiyakan oleh Faiz. Alhasil, kita sepakat untuk berangkat. Mau tidak mau kita harus berbasah dikit-dikit. Tepat pada pukul 00.30 kita berangkat.
Dalam perjalanan, kita berjumpa dengan beberapa klub motor yang berkendara beriringan. Ada klub motor Honda CB yang memecah kesunyian malam kota Jogja dengan bunyi kenalpotnya. Ada juga klub motor citol (demikianlah orang rumahku menyebut motor merk Honda C70) yang mengingatkanku akan motor ayah yang sekarang entah ada di mana. Perjumpaan dengan klub motor setidaknya dapat menghiburku di tengah cekaman langit yang setiap saat tanpa diduga menurunkan hujan sehujan-hujannya.

Gerimis masih setia menemani perjalanan kita. Sampai di 0 KM pun, mendung beserta antek gerimisnya masih menyelimuti Jogja. Tetapi orang berkerumun masih banyak. Sebagian berkumpul di tempat duduk yang telahtersedia menggunakan payung untuk menghalau gerimis yang bila dibiarkan terus menerus akan membuat tubuh basah seraya memandangi lalu lalang kendaraan bermotor yang masih ramai. Sebagian lagi berteduh di bawah pohon rindang seraya menghisap rokok dan menyeduh kopi yang dibeli dari pedagang asongan yang setiap malam mangkal di 0 KM. Sebagian yang lain asyik mengarahkan kamera pada spot-spot yang dinilai menarik. Sekali-kali mereka bergantian berfoto dan juga ber-selfie ria tanpa menghiraukan rintik gerimis. Dan kita termasuk dalam ‘sebagian’ yang ketiga ini.

Sesampai di 0 KM, tidak ada pikiran untuk berteduh. “Toh, tetap saja gerimis dan kita bukanlah garam yang larut dalam air,”  lagi-lagi Maulidi membalas (baca: menolak) ajakanku untuk berteduh. Pose pertama yang kita peragakan adalah foto bersama dengan background bank BNI yang berada di pojok seberang jalan. Spot bank BNI dipilih karena lampunya yang kekuning-kuningan begitu indah di tengah malam. Setelah foto bersama, kita bergantian. Satu per satu. Dengan kamera bermerk Canon E 200, kita mengabadikan diri masing-masing. Foto, layaknya tulisan, akan hidup lebih lama setelah ditinggal oleh sang empunya foto.

Setelah puas dengan berfoto-foto ria, kita pindah tempat ke seberang jalan. Tepatnya di depan Gedung Agung yang menurut sejarah pernah dijadikan istana presiden sewaktu Jogja menjadi ibu kota negara dengan Soekarno presidennya. Kali ini kita mengambil tempat di bawah pohon beringin rindang yang berada di halaman Gedung Agung. Dari saking rindangnya, ranting dan daun pohon sampai menjorok ke luar pagar sehingga ‘menghalau’ setiap rintik-rintik air yang turun.

Dengan membeli tiga gelas kopi hangat, ngalor-ngidul dimulai. Perbincangan tidak jauh dari topik seputar pondok pesantren. Perbincangan berjalan agak-agak dialektis. Mereka (‘santri aktif’) menceritakan panjang lebar tentang kondisi pesantren sekarang. Mulai dari perkembangan pembangun masjid jami’ berlantai tiga yang menelan biaya sekitar 3 miliyar hingga hal yang remeh temeh, antrian panjang di kantin pondok demi sepiring nasi.

Kami (para alumni) juga menyampaikan kenangan-kenangan di pondok yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di memori otak. Cerita nostalgia tidak terlepas dari kekonyolan kami sewaktu di pondok yang pada waktu tidak kami anggap sebagai hal yang konyol. Ada yang pernah kucing-kucingan dengan santri perempuan di persimpangan jalan depan kantor pesantren. Ada juga yang ketahuan main game play station di Tanjung. Dan aku sendiri menceritakan bagaimana senang dan gembiranya mendapat tugas reportase ke luar kota. Semua itu hanyalah cerita, yang pada nantinya juga akan menjadi cerita.

Tak terasa sudah lama kita berada di bawah pohon ini. Sudah sekitar satu jam yang lalu kita duduk di sini tanpa rasa berterima kasih pada pohon yang telah melindungi kita dengan daun rindangnya dari hujan dan kepada ‘lantai’ yang telah rela kami duduki dan injak-injak. Tepat pukul 02.00, kita beranjak. Bukan untuk pulang, tapi untuk pindah ke Tugu Jogja. Gerimis masih setia layaknya kesetiaan rembulan menemani malam.



Tiba di Tugu Jogja, kita bergegas untuk memasang badan, merapikan pakaian, dan menyisir rambut serta memantapkan pose. Hanya untuk satu: foto berkualitas tinggi dengan Tugu Jogja di malam hari sebagai latar belakangnya. Di sana, sudah ada beberapa orang berkumpul-guyub di sekitar tugu. Ada yang ngobrol santai seraya sekali dua kali mengarahkan kamera ke temannya. “Memang tidak pernah sepi tugu ini, istimewa,” aku membatin. Ya, Tugu Jogja memang selalu ramai. Di siang hari, kendaraan berlalu-lalang di pinggi tugu karena memang lokasinya berada di tengah-tengah perempatan jalan. Pada malam hari dijadikan tempat nongkrong sekaligus tempat wisata murah-meriah.

Kita tak begitu lama bercokol di Tugu Jogja. Selain waktu sudah dini hari, badan kita sudah remuk ditambah dinginnya malam yang seakan-akan menusuk tulang-tulang dan mata mulai redup. Kita memutuskan untuk pulang saat jarum jam menunjukkan pukul 02.45.

Demikianlah perjalanan malamku bersama rekan-rekan. Malam kebersamaan dan malam cita-cita. Malam tak selalu kelam dan pagi tak selalu cerah.


Comments