Milad HMI ke 68: Momentum Evaluasi Diri


Hari ini, 5 Februari 2015, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berumur 68 tahun. Sebagai sesepuh organisasi mahasiswa berbasis islam yang didirikan oleh Ayahanda Lafran Pane pada 5 Februari 1947 / 14 Rabiul Awl 1366 H, HMI telah banyak makan garam kehidupan. Mulai dari berjuang melawan kolonialisme, menghadapi rezim yang berkuasa, tantangan dari luar dan perpecahan internal, hingga saat ini tantangan menghadapi globalisasi dan kapitalisme pasca-reformasi.  Kecuali yang terakhir, semua fase/tahap dilalui dan dihadapi dengan racikan amunisi yang pas: tradisi intelektual islam dan khazanah wawasan keindonesiaan (nasionalisme).

Ibarat manusia, HMI hari ini adalah manusia yang mendapat “bonus” Allah untuk melanjutkan perjuangan di bumi pertiwi. Manusia, sesuai sabda Nabi Muhammad SAW, mempunyai jatah hidup di dunia 63 tahun. Umur Nabi pun 63 tahun. Jika lebih dari itu, niscaya manusia mendapat “bonus” untuk mengabadi lebih lama. Demikian pula HMI yang saat ini berumur 68 tahun, niscaya mendapat “bonus” dengan kelahiran yang “kedua kalinya” untuk mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia.

Di usianya yang telah mengalami juvenilisasi ini, HMI, baik kader maupun alumni, harus dan wajib untuk meneladani khittah perjuangan dan semangat berorganisasi generasi awal di mana HMI didirikan. Bukannya malah yang terjadi saat ini semakin lengketnya kader ke pusaran kekuasaan dan politik praktis yang oleh Agus Salim Sitompul, senior HMI, dianggap sebagai salah satu indikator kemunduran HMI. Bahkan Nurcholis Madjid, ketua umum PB HMI 1966-1971, melontarkan kritik tajam dengan mengatakan “lebih baik HMI dibubarkan saja.”

Berangkat dari indikator kemunduran HMI dan kritik tajam Cak Nur, sapaan akrab Nurcholis Madjid, perlu adanya muhasabah (evaluasi) diri untuk melakukan reinterpretasi sikap dan intelektual terhadap cita-cita atau tujuan HMI, kemudian dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman: globalisasi dan kapitalisme.

Evaluasi diri dapat dilakukan dengan menengok ke belakang dan menatap masa depan. Menengok ke belakang berarti meneladani sejarah tindak-tanduk dan kiprah perjuangan HMI yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pada saat kemerdekaan Indonesia masih “balita,” HMI ikut andil dan berpartisipasi dalam mempertahankan Indonesia. Kemudian, dibawah rezim Orde Lama dan Orde Baru, HMI mampu menjadi pengawal dan penyeimbang rezim berkuasa dengan sumbangsih pemikiran progresifnya. Meskipun di Orde Baru, tak bisa dielakkan beberapa kader dan alumni HMI masuk dalam jajaran elite kekuasaan.

Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat kegemilangan HMI dari generasi ke generasi dan keberhasilan mencetak kader-kader berkualitas seperti Jusuf Kalla, Mahfud MD, Akbar Tanjung, Abraham Samad, dll. Kegemilangan dan keberhasilan masa lalu jangan dijadikan romantisme dan nostalgia yang indah tempat kita, para kader, berlindung dari rong-rongan orang lain. Tetapi jadikanlah kejayaan masa lalu sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan arah HMI di masa depan dan meneladani intensitas khittah perjuangan serta semangat berorganisasi yang saat ini mulai meredup.

Di Milad ke 68 ini, momentum yang sangat tepat untuk mengambil faedah masa lalu guna menatap masa depan yang tak tentu arah. Masa depan yang penuh tantangan globalisasi dan kapitalisme yang terus menggerogoti bangsa Indonesia, baik secara stuktural dengan kepemilikan korporasi oleh orang borjuis (bermodal) maupun secara kultural berupa pengadobsian secara mentah budaya barat (westernisasi).

Sikap terbaik untuk menghadapi masalah globalisasi dan kapitalisme adalah kembali ke ideologi organisasi yang terumuskan dalam; Iman, Ilmu, dan Amal sebagai ektraksi dari Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang dirumuskan secara sistematis pada masa kepemimpin Cak Nur, dan tujuan HMI: terbinanya insan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Ke tiga ektraksi (Iman, Ilmu, dan Amal) tersebut mempunyai sinergitas yang tak bisa dipisahkan.

Pertama, Iman adalah perihal ketauhidan dengan meyakini keesaan Allah SWT dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam islam, begitu juga di HMI, iman adalah hal fundamen dalam doktrinisasi. Kedua, Ilmu merupakan upaya menciptakan intelektual muslim yang amat begitu erat dengan dunia kemahasiswaan dalam rangka menggali dan mengembangkan ilmu pengetahun. Dengan ini, doktrin kedalaman keilmuan di HMI menjadi salah satu faktor pembeda dengan muslim pada umumnya. Ketiga, Amal; merupakan manifestasi secara nyata dan kongkret dari kapasitas dan kapabilitas kader (Iman dan Ilmu). Berbekal keimanan yang mengakar dan keilmuan yang menjulang saja tidak cukup, HMI menyepurnakannya dengan Amal sebagai wujud nyata dari kepekaan sosial-politik di masyarakat.


Dengan demikian, ideologi organisasi HMI secara jelas dapat dijadikan landasan dalam bersikap dan bertindak, terutama menghadapi tantangan zaman: globalisasi dan kapitalisme. Ke tiga ekstraksi tersebut harus ada dalam personal kader HMI yang saat ini mulai luntur. Di ulang tahun ke 68 ini adalah momentum evaluasi diri seraya menyelami makna dibalik sinergitas Iman, Ilmu dan Amal. Akhirnya, semoga di usia yang dapat dibilang sepuh ini, HMI terus berjuang untuk rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Yakin Usaha Sampai.  

Comments