Mahasiswa: Berdaulat dalam Moral, Berdikari dalam Pengetahuan
Sejarah
peradaban Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan peran pemuda secara umum dan
mahasiswa secara khusus. Mahasiswa adalah pengawal setia dalam perjalanan
bangsa Indonesia, baik pra kemerdekaan atau paska kemerdekaan. Dimulai pada
tahun 1908, atas inisiasi mahasiswa STOVIA berdirilah Boedi Oetomo, organisasi
modern pertama di Indonesia. Dilanjutkan dengan deklarasi Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 di Jakarta. Di mana pemuda, pelajar, dan mahasiswa berkumpul dari
pelbagai daerah di nusantara untuk menyatakan diri sebagai bagian dari
Indonesia. Peran mahasiswa mencapai puncak keemasan saat Soekarno dan Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Peran
mahasiswa di mana? Atas desakan golongan muda yang dikomandoi oleh Chairus
Shaleh dan Soekarni, akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia terwujud tanpa
menunggu sidang PPKI kedua. Dengan kata lain, tantangan utama mahasiswa pra
kemerdekaan adalah membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan
imperialisme.
Paska kemerdekaan, perjuangan
mahasiswa berlanjut. Dikenal dengan angkatan 1966, 1974, dan 1998. Setiap
angkatan menyuarakan idealisme sebuah negara. Pemerintah tak usai menyelesaikan
permasalah bangsa, mahasiswa mengambil peran, dengan demonstrasi atau kajian
intelektual. Isu-isu kesejahteraan sosial, KKN, dan pelanggaran HAM adalah isu
utama paska kemerdekaan.
Mahasiswa
adalah social controller daripada
kebijakan-kebijakan rezim yang berkuasa. Tak gentar, tak kenal rasa takut,
semangat menggebu-gebu, idealis realistis, dan berpikir kritis adalah
mahasiswa. Pembuktian karakter mahasiswa adalah menurukan orde lama dan memicu
lahirnya orde baru pada tahun 1966. Tiga puluh dua tahun berselang, mahasiswa
beraksi kembali dengan menuntut mundur presiden Soeharto, maka lahirlah
reformasi. Tantangan utama mahasiswa paska kemerdekaan adalah membebaskan diri
dari kolonialisme bangsa sendiri menuju kemerdekaan sejati. Dan itu masih
berlaku hingga saat ini.
Enam
belas tahun paska reformasi, negeri ini digaduhkan dengan perilaku koruptif
yang membudaya. Tidak ada institusi di negeri ini yang bersih dari korupsi.
Legislatif, eksekutif, dan yudikatif lebih kepada sarang koruptor. Jabatan
publik dijadikan tujuan untuk berkuasa, bukan diniatkkan untuk mengabdi kepada
negara. Di lain pihak, mahasiswa yang seharusnya berperan sebagai pasukan garda
depan atas ketidakberesan, justru terlena dengan budaya asing. Katakanlah
hedonisme dan konsumtivisme.
Mahasiswa
– meskipun tidak semua – lebih memilih shopping
di mall dan pergi ke tempat hiburan daripada menghabiskan waktu di rumah
pergerakan dan ruang diskusi. Tak hayal rumah pergerakan dan ruang diskusi
semakin hari sepi peminat. Yang tertinggal hanyalah kejayaan masa lalu. Budaya
hedonis telah merasuki mahasiswa saat ini.
Diperparah
lagi dengan perilaku konsumtif mahasiswa. Apa yang menjadi trend saat ini adalah keharusan untuk memiliki. Terutama hal-hal
berbau fashion dan teknologi. Perilaku
konsumtif mendorong seseorang untuk tidak produktif. Terkadang, kita merasa
bangga saat bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang barat, misalnya
berbusaha dan berbahasa asing.
Dari
permasalahan di atas dapat dirumuskan bahwa tantangan terbesar mahasiswa saat
ini adalah membentengi diri dari budaya asing yang bertolak belakang dengan
budaya bangsa dan itu bisa ditanggulangi dengan moralitas yang kuat dan
pengetahuan yang memadai. Mahasiswa saat ini adalah pemimpin bangsa masa depan.
Berdaulat dalam Moral
Moralitas
merupakan urgensitas bangsa di tengah kebobrokan moralitas penguasa.
Keteladanan, yang merupakan unsur terpenting dalam kedaulatan moral, sulit
dijumpai di Indonesia. Semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lepas
dari unsur politik. Sedangkan politik Indonesia berwajah garang yang siap
menerkam siapa saja yang bertentangan. Di mana-mana, citra politik itu kotor,
busuk, dan kejam. Politik adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Secara mendasar, politik tidaklah
demikian. Tetapi, orang-orang yang mengisi dunia politik adalah kotor, kejam,
dan busuk. Di sisi lain, orang yang mengisi dunia politik di negeri ini –
disebut politisi – mempunyai pengetahuan dan keilmuan yang memadai. Mereka
pandai, mereka cerdas, mereka lulusan universitas terama di dalam dan luar
negeri, bahkan ada diantara mereka bergelar doktor dan profesor. Namun,
keilmuan yang memadai tidak diimbangi dengan kontrol moral yang kuat. Sehingga,
tidak ada kontrol dalam bertindak. Di sinilah moralitas seseorang begitu
penting.
Moralitas yang kuat dan baik
terbentuk dari karakter dan kepribadian yang baik pula. Ignas Kleden
mendefinisikan berbeda antara karakter dan kepribadian (personality). Karakter merujuk kepada struktur nilai dalam diri
seseorang, sedangkan kepribadian lebih menunjukan tampilan atau tingkah laku
yang kelihatan. Dengan demikian orang yang berkarakter adalah orang menegakkan
nilai-nilai etis dalam dirinya. Sedangkan, orang berkepribadian adalah orang
yang tidak mempunyai kendala berarti dalam komunikasi dan interaksi sosial.
Sinergitas keduanya menghasilkan seseorang yang mempunyai komitmen dan prinsip
yang kuat sekaligus cakap dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Secara eksplisit ketidak seimbangan keduanya
dalam diri seseorang berdampak terhadap keadaan yang tidak ideal. Seeorang yang
berkepribadian baik akan mengorbankan nilai-nilai etis atau moral yang telah
dipercayainya demi terjalin hubungan sosial yang baik dengan orang lain atau
lingkungannya. Sedangkan seseorang yang berkarakter seringkali mengalami
kesulitan dalam adabtabilitas dan interaksi sosial karena bersikap teguh
mempertahankan nilai-nilai etis atau moral yang prinsiipil.
Bagaimana jadinya jika mahasiswa
mempunyai karakter yang teguh sekaligus berkepribadian baik? Kesadaran diri
sebagai seorang mahasiswa akan tumbuh. Perannya sebagai agent of change dan kontrol sosial terpenuhi. Melihat kesenjangan
sosial adalah melihat lubang dalam timba yang harus dikritisi dan diberi
solusi. Mahasiswa tidak tinggal diam jika kedaulatan rakyat diambil oleh
sekelompok orang. Mahasiswa tetap setia mengawal modernisasi dan globalisasi
tanpa terlena dengannya.
Di
samping itu, kepastian jangka panjang adalah masa depan Indonesia cerah, karena
generasinya mempunyai kecakapan adaptif, komunikatif, dan interaktif, yang
diimbangi dengan nilai-nilai moral yang kokoh. Dunia politik akan diisi
politisi berkepribadian baik sekaligus berkarakter dan melahirkan
kebijakan-kebijakan yang berdiri di atas nilai-nilai fundamental. Inilah tantangan
mahasiswa saat ini.
Berdikari dalam Pengetahuan
Berangkat
dari kekayaan alam melimpah, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dirasa
sangat perlu. Dari saking melimpahnya, band Koes
Plus dalam lirik lagunya mengatakan Indonesia tanah surga, tongkat kayu dan
batu jadi tanaman. Namun, kekayaan tidak membawa kepada kemakmuran. Melihat
realitas bangsa saat ini adalah melihat ayam mati kelaparan di lumbung padi. Banyaknya
rakyat miskin di tengah-tengah melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA).
Hal mendasar yang perlu dilakukan
bangsa ini adalah pengembangan kemampuan pengolahan SDA. Tanpanya, kekayaan tidak
akan dinikmati sendiri untuk kemakmuran karena SDA diekspor dalam bentuk mentah
dan diimpor kembali ke Indonesia dalam berbagai komoditas dengan harga tinggi.
Pengembangan kemampuan pengolahan adalah pemberdayaan SDM semaksimal mungkin.
Menyikapi hal tersebut, mahasiswa
berkewajiban untuk menjadi bagian dari pengolahan SDA. Ini adalah tantangan ke
depannya untuk selalu produktif, bukan konsumtif. Hal ini dapat dilakukan
dengan eksperimen secara terus menerus yang dapat menghasilkan nilai tambah
terhadap SDA dan teknologi yang ada. Barang-barang impor tidak diterima begitu
saja tanpa analisis mendalam sehingga menghasilkan modifikasi dan inovasi di
kemudian hari. Dengan demikian, kedaulatan pengetahuan mahasiswa akan membawa
kepada kemandirian bangsa.
Dari Mahasiswa untuk Indonesia
Sumbangsih
mahasiswa terhadap peradaban Indonesia tidak usah diragukan lagi. Sejarah telah
mencatat bahwa mahasiswa adalah bagian dari perjalanan panjang Indonesia, dari mengambil
peran penting menuju kemerdekaan hingga melepaskan bangsa ini dari
otoritarianisme. Menafikan keberadaan mahasiswa berarti menebar benih
kebohongan.
Jika
dulu mahasiswa “bertarung” melawan penjajah pra kemerdekaan, jika dulu
mahasiswa melakukan demonstrasi atas ketidakbecusan pemerintah yang berkuasa,
maka mahasiswa saat ini – paska reformasi – adalah mempersiapkan diri untuk “berperang”
melawan kedigdayaan negara luar. Berdaulat secara moral dan berdikari secara
pengetahuan adalah jalannya.
Kedaulatan
moralitas adalah jalan menuju kemerdekaan karakter di tengah-tengah manuver
paham-paham asing, seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, pragmatisme,
dsb. Moralitas yang kuat akan menjadi benteng pertahanan atas gempuran budaya
asing, sehingga menjadi diri Indonesia. Sedangkan, berdikari secara pengetahuan
adalah melahirkan mahasiswa produktif. Mahasiswa yang senantiasa berinovasi dan
mengambil badan dalam setiap kesempatan. Dapat dipahami bahwa berdikari secara
pengetahuan adalah kepandaian, kecerdasan, dan intelektualitas.
Dapat
dipahami bahwa sinergitas keduanya adalah keniscayaan. Dominasi salah satu akan
menghasilkan kepincangan. Kepandaian tanpa karakter akan membawa orang kepada
egoisme individual atau kolektif, sehingga kepentingan umum menjadi
terbengkalai karena memprioritaskan kepentingan pribadi atau golongan.
Sementara moralitas atau karakter tanpa kepandaian hanya menghasilkan moralisme
tanpa kemampuan produkti. Dengan demikian, tantangan mahasiswa saat ini adalah
bagaimana kedua hal tersebut ada dalam diri; berdaulat dalam moral dan
berdikari dalam pengetahun.
Comments
Post a Comment